Jumat, 30 Maret 2012

etika konsumsi dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konsumsi merupakan pemakaian atau penggunaan manfaat dari barang dan jasa. Sehingga konsumsi merupakan tujuan yang penting dari produksi tetapi tujuan yang utama adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang. Islam adalah agama komprehensif dan mencakup seluruh aspek kehidupan, yang mengatur segala tingkah laku manusia, bahkan tidak ada satu sietem kemasyarakatan, baik modern atau lama, yang menetapkan etika untuk manusia dan megatur segala aspek kehidupan manusia sampai pada persoalan yang detail selain Islam, termasuk dalam hal ini konsumsi.[1]
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya Yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an: " ...dan makanlah barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai dengan kehendakmu ...," dan yang menyuruh semua umat manusia: "Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah dan baik." Karena itu, orang Mu'min berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an: "Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?)".

B.       Rumusan Masalah
1.      Jelaskan pengertian konsumsi?
2.      Sebutkan, apakah tujuan dari konsumsi menurut Islam?
3.      Sebutkan dan jelaskan prinsip-prinsip konsumsi menurut Islam?
4.      Bagaimana etika konsumsi dalam Islam?

BAB II
PEMBAHASAN
A.       Pengertian Konsumsi
Konsumsi secara umum didefinisikan dengan penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dalam ekonomi islam konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan pencapaian dari konsumsi itu sendiri, cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariah islamiyyah.
Konsumsi merupakan bagian aktifitas ekonomi selain produksi dan distribusi. Konsumsi akan terjadi jika manusia memiliki uang (harta). Dalam islam harta merupakan bagian fitrah manusia untuk mencintainya. "Telah dihiasi untuk manusia untuk mencintai kesenangan terhadap wanita-wanita"
Dalam istilah fikih Hanafiah harta (maal) merupakan sesuatu yang dicintai manusia dan dapat digunakan pada saat dibutuhkan. Harta dibedakan secara materi dan nilai. Materi bisa berwujud jika manusia menggunakannya sebagai materi. Nilai hanya berlaku jika diperbolehkan secara syariat. Oleh sebab itu, dalam islam harta akan diakui eksistensinya secara bersamaan antara materi dan nilai. Dalam ekonomi nonislam minuman keras, babi, ekstasi, dan sejenisnya merupakan suatu materi bahkan dapat bernilai ekonomi tinggi dan diklasifikasikan sebagai harta. Sebaliknya, dalam pandangan ekonomi islam semua itu bukan dikatakan sebagai harta bahkan merupakan kejelekan.
Harta dari segi hak-haknya terbagi menjadi tiga, yaitu milik Allah, milik pribadi dan milik umum (Abdullah Muslih, 2004). Ketiga konsep tentang kepemilikan harta inilah dalam islam dinamakan multiple ownerships. Pertama, harta milik Allah, yang pada dasarnya harta adalah mutlak milik Allah, manusia hanya diberi kesempatan sementara untuk memiliki dan menggunakannya. "Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu" (An-Nuur:33). "Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya" (Al-Hadid:7). Konsekuensi dari harta milik Allah adalah manusia wajib mengoperasikannya sesuai dengan syariat dan mengeluarkan sebagiannya kepada yang membutuhkan melalui zakat, infak dan shodaqoh. Kedua, harta milik pribadi, yang tidak boleh disentuh atau diganggu kecuali dengan seijin pemiliknya. Terjadinya kepemilikan harta ini pada asalnya mubah ketika belum ada pemilik sebelumnya. Perpindahan kepemilikan dapat terjadi melalui akad jual beli, hibah maupun warisan. Ketiga, harta milik bersama/umum. Konsekuensi harta milik bersama adalah dengan lebih mendahulukan kepentingan bersama dibandingkan kepentingan pribadi ketika terjadi perselisihan/bentrokan kepentingan, dengan tetap memberikan kompensasi kepada pemilik harta tersebut sehingga tidak merugikan hak-hak pribadi mereka.

B.       Tujuan Konsumsi Islami
Tujuan utama konsumsi seoarang muslim adalah sebagai sarana penolong untuk beribadah kepada Allah. Sesungguhnya mengkonsusmsi sesuatu dengan niat untuk meningkatkan stamina dalam ketaatan pengabdian kepada Allah akan menjadikan konsusmsi itu bernilai ibadah yang dengannya manusia mendapatkan pahala. Konsusmsi dalam perspektif ekonomi konvensional dinilai sebagai tujuan terbesar dalam kehidupan dan segala bentuk kegiatan ekonomi. Bahkan ukuran kebahagiaan seseorang diukur dengan tingkat kemampummya dalam mengkonsusmsi. Konsep konsumen adalah raja' menjadi arah bahwa aktifitas ekonomi khususnya produksi untuk memenuhi kebutuhan konsumen sesuai dengan kadar relatifitas dari keianginan konsumen, dimana Al-Qur 'an telah mengungkapkan hakekat tersebut dalam firman-Nya : "Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang" (Muhammad:2).
Dalam konsumsi, seorang muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) sesuatu yang akan di konsumsinya. Para fuqaha' menjadikan memakan hal-hal yang baik ke dalam empat titigkatan (Ibnu Muflih, 3:197-204). Pertama, wajib, yaitu mengkonsumsi sesuatu yang dapat menghindarkan diri dari kebinasaan dan tidak mengkonsusmsi kadar ini padahal mampu yang berdampak pada dosa. Kedua, sunnah, yaitu mengkonsusmsi yang lebih dari kadar yang menghindarkan diri dari kebinasaan dan menjadikan seoarang muslim mampu shalat dengan berdiri dan mudah berpuasa. Ketiga, mubah, yaitu sesuatu yang lebih dari yang sunnah sampai batas kenyang. Keempat, konsusmsi yang melebihi batas kenyang, yang dalam hal ini terdapat dua pendapat, ada yang mengatakan makruh yang satunya mengatakan haram.
Konsumsi bagi seorang muslim hanya sekedar perantara untuk menambah kekuatan dalam mentaati Allah, yang ini memiliki indikasi positif dalam kehidupannya.[2] Seorang muslim tidak akan merugikan dirinya di dunia dan akhirat, karena memberikan kesempatan pada dirinya untuk mendapatkan dan memenuhi konsusmsinya pada tingkat melampaui batas, membuatnya sibuk mengejar dan menikmati kesenangan dunia sehingga melalaikan tugas utamanya dalam kehidupan ini. "Kamu telah menghabiskan rizkimu yang baik dalam kehidupan duniawi (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya" (Al-Ahqaf: 20). Maksud rizki yang baik di sini adalah melupakan syukur dan mengabaikan orang lain. Oleh sebab itu, konsumsi islam harus menjadikannya ingat kepada Yang Maha Memberi rizki, tidak boros, tidak kikir, tidak memasukkan ke dalam mulutnya dari sesuatu yang haram dan tidak melakukan pekerjaan haram untuk memenuhi konsumsinya. Konsumsi islam akan menjauhkan seseorang dan sifat egois, sehingga seoarang muslim akan menafkahkan hartanya untuk kerabat terdekat (sebaik-baik infak), fakir miskin dan orang-orang yang mumbutuhkan dalam rangka mendekatkan diri kepada penciptanya.

C.       Prinsip-prinsip Dasar dalam Konsumsi Menurut Islam
Konsumsi islam senantiasa memperhatikan halal-haram, komitmen dan konsekuen dengan kaidah-kaidah dan hukum-hukum syariat yang mengatur konsumsi agar mencapai kemanfaatan konsumsi seoptimal mungkin dan mencegah penyelewengan dari jalan kebenaran dan dampak mudharat baik bagi dirinya maupun orang lain. Adapun kaidah/prinsip dasar konsumsi islami adalah (AI-Haritsi, 2006):
1.      Prinsip syariah, yaitu menyangkut dasar syariat yang harus terpenuhi dalam melakukan konsumsi di mana terdiri dari:
·         Prinsip akidah, yaitu hakikat konsumsi adalah sebagai sarana untuk ketaatan/beribadah sebagai perwujudan keya.kinan man.usia sebagai makhluk yang mendapatican beban khalifah dan amanah di bumi yang nantinya diminta pertanggungjawaban oleh penciptanya.
·         Prinsip ilmu, yaitu seorang ketika akan mengkonsumsi harus tahu ilmu tentang barang yang akan dikonsumsi dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya apakah merupakan sesuatu yang halal atau haram baik ditinjau dari zat, proses, maupun tujuannya.
·         Prinsip amaliah, sebagai konsekuensi akidah dan ilmu yang telah diketahui tentang konsumsi islami tersebut. Seseorang ketika sudah berakidah yang lurus dan berilmu, maka dia akan mengkonsumsi hanya yang halal serta menjauhi yang halal atau syubhat.
2.      Prinsip kuantitas, yaitu sesuai dengan batas-batas kuantitas yang telah dijelaskan dalam syariat islam, di antaranya
·         Sederhana, yaitu mengkonsumsi yang sifatnya tengah-tengah antara menghamburkan harta dengan pelit, tidak bermewah-mewah, tidak mubadzir, hemat.
·         Sesuai antara pemasukan dan pengeluaran, artinya dalam mengkonsumsi harus disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya, bukan besar pasak daripada tiang.
·         Menabung dan investasi, artinya tidak semua kekayaan digunakan untuk konsumsi tapi juga disimpan untuk kepentingan pengembangan kekayaan itu sendiri.
3.      Prinsip prioritas, di mana memperhatikan urutan kepentingan yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi kemudharatan, yaitu:
·         Primer, yaitu konsumsi dasar yang harus terpenuhi agar manusia dapat hidup dan menegakkan kemaslahatan dirinya dunia dan agamanya serta orang terdekatnya, seperti makanan pokok.
·         Sekunder, yaitu konsumsi untuk menambah atau meningkatkan tingkat kualitas hidup yang lebih balk, misalnya konsumsi madu, susu dan sebagainya.
·         Tersier, yaitu untuk memenuhi konsumsi manusia yang jauh lebih membutuhkan.
4.      Prinsip sosial, yaitu memperhatikan lingkungan sosial di sekitarnya sehingga tercipta keharmonisan hidup dalam masyarakat, di antaranya:
·         Kepentingan umat, yaitu saling menanggung dan menolong sebagaimana bersatunya suatu badan yang apabila sakit pada salah satu anggotanya, maka anggota badan yang lain juga akan merasakan sakitnya.
·         Keteladanan, yaitu memberikan contoh yang baik dalam berkonsumsi apalagi jika dia adalah seorang tokoh atau pejabat yang banyak mendapat sorotan di masyarakatnya.
·         Tidak membahayakan orang lain yaitu dalam mengkonsumsi justru tidak merugikan dan memberikan madharat ke orang lain seperti merokok.
5.      Kaidah lingkungan, yaitu dalam mengkonsumsi harus sesuai dengan kondisi potensi daya dukung sumber daya alam dan keberlanjutannya atau tidak merusak lingkungan.
6.      Tidak meniru atau mengikuti perbuatan konsumsi yang tidak mencerminkan etika konsusmsi islami seperti suka menjamu dengan tujuan bersenang-senang atau memamerkan kemewahan dan menghambur-hamburkan harta.

D.       Etika Konsumsi dalam Islam
Adapun etika konsumsi islam harus memperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah:
1.      Jenis barang yang dikonsumsi adalah barang yang baik dan halal (halalan thoyyiban) yaitu:
a.       Zat, artinya secara materi barang tersebut telah disebutkan dalam hukum syariah.
*      Halal, dimana asal hukum makanan adalah boleh kecuali yang dilarang (Al-Baqarah: 168-169, An-Nahl: 66-69).
*      Haram, dimana hanya beberapa jenis makanan yang dilarang seperti babi, darah (Al-Baqarah: 173, Al-Maidah: 3,90).
b.      Proses, artinya dalam prosesnya telah memenuhi kaidah syariah, misalnya
*      Sebelum makan baca basmalah, selesai makan baca hamdalah, menggunakan tangan kanan dan bersih.
*      Cara mendapatkannya tidak dilarang, misal: riba (Al-Imran: 130), merampas (An-Nissa’: 6), judi (Al-Maidah: 91), menipu, mengurangi timbangan, tidak menyebut Allah ketika disembelih, proses tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk kecuali yang sempat disembelih sebelum matinya (Al-Maidah: 3).
2.      Kemanfaatan atau kegunaan barang yang dikonsumsi, artinya lebih memberikan manfaat dan jauh dari merugikan baik dirinya maupun orang lain.
3.      Kuantitas barang yang dikonsumsi tidak berlebihan dan tidak terlalu sedikit atau kikir atau bakhil, tapi pertengahan (Al-Furqon: 67), serta ketika memiliki kekayaan berlebih harus mau berbagi melalui zakat, infak, sedekah maupun wakaf dan ketika kekurangan harus sabar dan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya.
Meskipun syariat telah melarang mengkonsumsi beberapa jenis barang, ternyata Allah masih meluaskan ralunat-Nya dengan memberikan kelonggaran ketika seseorang dalam keadaan darurat (emergency) menyangkut kehidupannya, maka dia boleh memakan sesuatu yang haram dengan syarat pada dasarnya tidak menginginkan dan tidak berlebihan (Al-An'am: 145). Pada sisi lain, ketika diberi keluasan harta muslimin tidak berlebihan dalam menggunakannya, sehingga melebihi batas dan dapat menjerumuskan ke dalam pemborosan dan menelantarkan hak-hak yang wajib.
Dalam diri seorang muslim harus berkonsumsi yang membawa manfaat (maslahat) dan bukan merugikan (madhorot). Konsep maslahat menyangkut maqoshiq syariat (dien, nafs, nasl, aql, maal), artinya harus memenuhi syarat agar dapat menjaga agamanya tetap muslim, menjaga fisiknya agar tetap sehat dan kuat, tetap menjaga keturunan generasi manuia yang baik, tidak merusak pola pikir akalnya dan tetap menjaga hartanya berkah dan berkembang. Konsep maslahat lebih objektif karena bertolak dari al-hajat addhoruriyat (need), yaitu prioritas yang lebih mendesak. Konsep maslahat individu senantiasa membawa dampak terhadap maslahat umum/sosial.
Konsumsi islami berjalan secara seimbang. Menunaikan nafkah yang wajib seperti zakat, infak, shodaqoh, wakaf, kaffaroh (tebusan) dan lainnya dalam urusan yang bermanfaat untuk mereka yang membutuhkan. Dalam berbagai lapangan kebaikan, urusan yang mendesak, untuk kesempurnaan agama dan dunia tanpa menimbulkan kemadharatan bagi dirinya, keluarga atau yang lainnya. Inilah bukti kesederhanaan, kecerdasan dan bagusnya pengaturan.

BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Konsumsi merupakan bagian aktifitas ekonomi yang sangat vital bagi kehidupan manusia. Konsumsi adalah fitrah manusia untuk mempertahankan hidupnya. Jika manusia masih berada dalam fitrah yang suci, maka manusia sadar bahwa konsumsi memiliki keterbatasan baik dari segi kemampuan harta maupun apa yang akan dikonsumsi sesuai dengan kebutuhannya. Teori konsumsi islam membatasi konsumsi berdasarkan konsep harta dan berbagai jenis konsumsi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah islam demi keberlangsungan dan kesejahteraan manusia itu sendiri. Dalam islam aktifitas konsumsi telah diatur dalam bingkai syariah, sehingga dapat menuntun seorang muslim agar tidak terjerumus dalam keharaman dan apa yang dikonsumsinya menjadi berkah.
Adapun etika konsumsi islam harus memperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah:
1.      Jenis barang yang dikonsumsi adalah barang yang baik dan halal (halalan thoyyiban) yaitu:
2.      Kemanfaatan atau kegunaan barang yang dikonsumsi, artinya lebih memberikan manfaat dan jauh dari merugikan baik dirinya maupun orang lain.
3.      Kuantitas barang yang dikonsumsi tidak berlebihan dan tidak terlalu sedikit atau kikir atau bakhil, tapi pertengahan (Al-Furqon: 67), serta ketika memiliki kekayaan berlebih harus mau berbagi melalui zakat, infak, sedekah maupun wakaf dan ketika kekurangan harus sabar dan merasa cukup dengan apa yang dimilikinya.


DAFTAR PUSTAKA

------------, 1996, Al-Qur'an Al-A dhim , dengan terjemahan, Yayasan Penyelenggara    Penterjemah/Pentafsir Al Qur'an, Mujamma' Khadim Al Hatamain Asy Syarifain, Medinah Al Munawwarah : Al Haramain Islamic Foundation.
Adiwarman Karim, 2007, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga, Jakarta : Rajawali Pers
Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, 2006, Al-Fiqh AI-Iqtishadi Li Amiril mukminin Umar Ibn Al-Khaththab, diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamalchsyari: Fikih Ekonomi Umar bin AI-Kathab, Jakarta: Khalifa
Al-Muslih, Abdullah dan Shalah As-Shawi, 2004, Maa Laa Yasa'untukAt-Tajiru Jahluhu, diterjemahkan oleh Abu Umar Basyir : Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta : Darul Haq
http://www.agustiantocentre.com/?p=796 (diakses, 17 Februari 2011)


[2] Al-Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Al-Fiqh AI-Iqtishadi Li Amiril mukminin Umar Ibn Al-Khaththab, diterjemahkan oleh Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta: Khalifa, 2006), 140